Minggu, 27 April 2014

Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Pendapatan Daerah dan Nasional



Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Pendapatan Daerah dan Nasional








 Disusun Oleh
Nama              : Annisa Hidayati Amal
Kelas               : 1EB18
NPM                : 21213136









UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN S1 – AKUNTANSI
2014



Daftar Isi
Daftar Isi……………………………………………………………………………………….1
I. Pendahuluan
            1.1. Latar Belakang……………………………………………………………………..2
            1.2. Tujuan ……………………………………………………………………………..3
            1.3. Rumusan Masalah………………………………………………………………….3
II. Pembahasan
            2.1. Sejarah Bisnis Retail………………………………………………………………4
            2.2. Pendapatan Bisnis Retail Nasional………………………………………………..5
            2.3. Pendpatan Bisnis Retail di Daerah Yogyakarta…………………………………..6
            2.4. Pengaruh Bisnis Retail …………………………………………………………..7
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………………10


Bab 1. Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar sedangkan pusat perbelanjaan atau sering disebut pasar modern adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertical dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang.
Ritel atau disebut pula eceran (bahasa Inggris: retail) adalah salah satu cara pemasaran produk meliputi semua aktivitas yang melibatkan penjualan barang secara langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Organisasi ataupun seseorang yang menjalankan bisnis ini disebut pula sebagai pengecer. Pada prakteknya pengecer melakukan pembelian barang ataupun produk dalam jumlah besar dari produsen, ataupun pengimport baik secara langsung ataupun melalui grosir, untuk kemudian dijual kembali dalam jumlah kecil.

Dengan mengacu terhadap kebijakan pemerintah yang mengarah pada peberdayaan usaha kecil dan menengah, tentunya akan memberikan peluang bagi pemilik modal untuk membidik pasar yang berkaitan dengan usaha supermarket. Salah satu unit usaha yang mungkin layak untuk dijalankan adalah unit usaha penjualan di pasar modern. Unit usaha ini bukan berarti tidak memberikan dukungan terhadap sektor usaaha kecil dan menengah di dalam negeri, melainkan sebagai pelaku usaha kita harus pandai memanfaatkan peluang. Terlebih ketika harga produk lokal mahal dan tidak sebanding dengan kualitasnya, maka pelaku usaha akan cenderung memilih barang impor yang mampu memberikan manfaat lebih.

Persaingan dalam usaha penjualan barang melalui pasar swalayan memang sudah kompetitif. Banyak sekali kitajumpai beberapa toko, baik sekala besar ataupun skala kecil, baik itu dilakukan di toko, kios, outlet, atau tempat berjualan lain seperti di pasar, swalayan, maupun pusat perbelanjaan modern. Untuk dapat bersaing dalam usaha yang bersangkutan, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pemilihan segmen yang tepat, potensial dan belum banyak digarap oleh pihak lain, kemudian menawarkan beberapa keunggulan dan nilai lebih bagi konsumen yang menjadi segmen usaha kita.

Dengan melihat peta dan potensi pelaku usaha di bidang perdagangan di kota Yogyakarta nampaknya masih ada peluang untuk mengembangkan pasar modern di selatan kota Yogyakarta. Peluang ini bisa ditangkap karena Pemerintah Kabupaten Bantul yang membuat kebijakan membatasan pasar modern, sehingga peluang ini dimanfaatkan oleh Super Indo untuk mendirikan supermarket yang berlokasi di Jalan Parangtritis Yogyakarta.
1.2. Tujuan
Di dalam makalah ini penulis ingin mengetahui apa yang dimaksud bisnis retail, sejarah retail, apa pengaruh bisnis retail terhadap lingkungan, bagaimana pendapatan bisnis retail di nasional dan bagaimana pendapatan retail di daerah. Tujuan-tujuan tersebut akan dibahas di dalam makalah ini.

1.3. Rumusan Masalah
Masalah pokok yang hendak dikaji melalui penelitian ini adalah apa yang dimaksud bisnis retail dan sejarah bisnis retail, apa pengaruh bisnis retail terhadap lingkungan, bagaimana pendapatan bisnis retail di nasional dan bagaimana pendapatan bisnis retail di daerah Yogyakarta.


Bab 2. Pembahasan
2.1. Sejarah Retail
Persaingan sengit dalam industri ritel telah melanda negara-negara maju sejak abad yanglalu, khususnya di Amerika Serikat dan Eropa Barat. Persaingan terjadi terutama antara usaha ritel tradisional dan ritel modern (supermarket dan hipermarket). Namun, menjelang dekade akhir milenium lalu persaingan telah meluas hingga ke negara-negara berkembang, di mana deregulasi sektor usaha ritel yang bertujuan untuk meningkatkan investasi asing langsung (IAL) telah berdampak pada pengembangan jaringan supermarket (Reardon & Hopkins 2006). Reardon et al (2003) menemukan bahwa sejak 2003 pangsa pasar supermarket di sektor usaha ritel makanan di banyak negara berkembang seperti Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Meksiko, Polandia, dan Hongaria telah mencapai 50%. Di Brazil dan Argentina, di mana perkembangan supermarket telah lebih dulu dimulai, pangsa pasarnya mencapai sekitar 60%. Traill (2006) menggunakan berbagai asumsi dan memprediksi bahwa menjelang 2015, pangsa pasar supermarket akan mencapai 61% di Argentina, Meksiko, dan Polandia; 67% di Hongaria; dan 76% di
Brazil.

Supermarket di Indonesia semuanya milik swasta dan izinnya dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Pemda umumnya tidak berwewenang untuk menolak izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, meskipun beberapa pemda mensyaratkan agar supermarket mengajukan izin lokal

Berikut beberapa pengaturan yang tertuang dalam Perpres 112/2007. Pengaturan tersebut berisi mengenai penataan ritel kecil/tradisional denganritel modern hingga aturan mengenai sanksi apabila terjadi pelanggaran atas aturan yang telah ditetapkan tersebut.

Dalam Perpres 112/2007, lokasi ritel modern diatur agar tidak berbenturan dengan ritel tradisional. Namun aturan tersebut masih belum nyata karena aturan yang lebih detil mengenai lokasi tersebut akan diatur oleh Pemerintah Daerah. Adapun ritel modern yang diatur keberadaan lokasinya dalam perpres ini.

Supermarket pertama di Indonesia dibuka pada 1970-an, dan jumlahnya meningkat dengan pesat antara 1977 dan 1992—dengan rata-rata pertumbuhan 85% setiaptahunnya. Hipermarket muncul pertama kali pada 1998, dengan pembukaan pusat belanja Carrefour dan Continent (yang kemudian diambil alih oleh Carrefour) di Jakarta. Dari 1998 hingga 2003, hipermarket bertumbuh rata-rata 27% per tahun, dari 8 menjadi 49 toko. Kendati tidak mudah memastikan jumlah supermarket dan hypermarket di seluruh Indonesia, sejak 2003, sekitar 200 supermarket dan hipermarket merupakan milik dari 10 pemilik ritel terbesar (PricewaterhouseCoopers 2004).

Pertumbuhan supermarket dalam hal pangsa pasar juga mengesankan. Laporan World Bank (2007) menunjukkan bahwa pada 1999 pasar modern hanya meliputi 11% dari
total pangsa pasar bahan pangan. Menjelang 2004, jumlah tersebut meningkat tiga kali
lipat menjadi 30%. Terkait dengan tingkat penjualan, studi tersebut menemukan bahwa
jumlah penjualan di supermarket bertumbuh rata-rata 15%, sementara penjualan di ritel
tradisional menurun 2% per tahun. PricewaterhouseCoopers (2004) memperkirakan
bahwa penjualan di supermarket akan meningkat 50% antara 2004 dan 2007, dengan
penjualan di hipermarket yang meningkat 70% pada periode yang sama. Menurut
laporan AC Nielsen Asia Pacific Retail and Shopper Trend 2005, kecenderungan public untuk berbelanja di pasar-pasar tradisional telah mengalami penurunan rata-rata 2% per tahun. Meski pertumbuhan jumlah supermarket di Indonesia terbilang pesat, penduduk yang tinggal di luar Jakarta dan beberapa kota kecil lainnya di Jawa relatif belum tersentuh—86% hipermarket berada di Jawa.

2.2. Pendapatan Retail Nasional

Ada lima jaringan supermarket terbesar di Indonesia. Dari kelimanya, jaringan Carrefour dan Superindo menyertakan perusahaan asing sebagai pemegang saham terbesar. Jaringan-jaringan besar ini beroperasi di kota-kota besar di Indonesia, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tiga dari lima jaringan terbesar membuka supermarket dan hipermarket, Carrefour secara khusus mengoperasikan hipermarket, sedangkan Superindo hanya mengoperasikan supermarket.
Sejak tahun 1997, Super Indo tumbuh dan berkembang bersama masyarakat Indonesia. Kini, Super Indo telah memiliki 117 gerai yang tersebar di 16 kota besar di Indonesia dan didukung lebih dari 5400 karyawan terlatih. Super Indo menyediakan beragam produk kebutuhan sehari-hari dengan kualitas yang dapat diandalkan, lengkap, harga hemat, dan lokasi toko yang mudah dijangkau. Kesegaran dan kualitas produk selalu dijaga melalui pilihan sumber yang baik dan penanganan dengan standar prosedur operasional yang selalu dipantau. Hal ini menjadikan Super Indo sebagai pilihan tempat berbelanja yang selalu "Lebih Segar", "Lebih Hemat" dan "Lebih Dekat".
Super Indo merupakan jaringan ritel internasional DELHAIZE GROUP, yang berpusat di Belgia dan telah tersebar di 3 benua dan 9 negara (Amerika, Bosnia & Herzegovina, Serbia, Belgia, Rumania, Yunani, Montenegro, Indonesia, dan Bulgaria) dengan lebih dari 3.451 gerai. Delhaize Group tercatat di bursa saham Euronext Brussels (DELB) dan the New York Stock Exchange (DEG).
Super Indo merupakan jaringan ritel internasional Delhaize Group, sebuah perusahaan ritel produk pangan berpusat di Brussel, Belgia yang beroperasi di tiga benua dan sebelas negara (Belgia, Amerika Serikat, Romania, Yunani, Luksemburg, Indonesia, Serbia, Bulgaria, Bosnia dan Herzegovina, Montenegro, serta Albania). Delhaize Group membeli 51% saham Super Indo pada tahun 1997.[1] Delhaize Group tercatat di bursa saham Euronext (EuronextDELB) dan Bursa efek New York (NYSE: DEG). Delhaize Group memiliki lebih dari 3.451 gerai pada akhir 2012. Super Indo memiliki private brand "365". "365" diluncurkan pada tahun 2006 dan telah memiliki lebih dari 140 jenis produk.
Superindo merupakan usaha ritel terbesar kelima, yang mulai beroperasi pada 1997 dan pada 2003 memiliki 38 supermarket. Superindo adalah perusahaan pribadi, dan
Delhaize, sebuah perusahaan ritel Belgia, memiliki proporsi saham terbesar. Total nilai penjualan Superindo pada 2003 mencapai Rp985 miliar (PricewaterhouseCoopers 2003). Membukukan pendapatan sebesar 233,56 juta euro sepanjang 2011, naik 54,64% dibandingkan realisasi pendapatan 2010 yang sebesar 151,03 juta euro euro (setara Rp 1,88 triliun dengan kurs Rp 12.500 per 1 euro) dibanding realisasi pendapatan 2009 sebesar 131,43 juta euro setara Rp 1,64 triliun.. Membukukan pendapatan 62,66 juta euro (setara Rp 772,21 miliar) sepanjang kuartal III 2011 dibanding realisasi pendapatan 40,22 juta euro (Rp 495,63 miliar) pada kuartal III 2010. Tahun 2013, Lion Super Indo menargetkan pembukaan 20 gerai supermarket di seluruh Indonesia. Belanja modal untuk membuka satu gerai diperkirakan sekitar Rp 10 miliar di luar produk dengan total investasi untuk gerai bisa mencapai lebih dari Rp 200 miliar.

2.3. Pendapatan Retail di Daerah Yogyakarta

Sampai saat ini, baik Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Kota Yogyakarta belum memiliki Peraturan Daerah khusus mengenai perpasaran. Setelah diterbitkannya Perpres No. 112 Tahun 2007, daerah tersebut belum juga merespon dengan membuat aturan turunan di daerahnya. Namun, bukan berarti Pemerintah Daerah tidak memperdulikan penataan pasar tradisional dan pasar modern di daerahnya. Salah satu yang menjadi perhatian utama di Yogyakarta adalah menjamurnya pasar modern kelas minimarket sampai ke kabupaten dan pedesaan. Selain itu, beberapa dari minimarket tersebut memiliki jam operasional hingga 24 jam. Hal inilah yang kemudian meresahkan masyarakat terutama pedagang kecil. Sayangnya, di dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 pun tidak diatur mengenai jam buka dari minimarket.

Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul memiliki kebijakan dimana Bupati masing-masing melarang dibangunnya pasar modern berkelas besar serta pusat perbelanjaan (mal) di daerah mereka. Namun kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk Perda. Sehingga larangan tersebut bisa berubah sewaktu-waktu. Larangan tersebut dilakukan oleh Bupati Bantul untuk melindungi para pedagang pasar di Bantul. Diketahui bahwa sekitar 14 % penduduk Bantul bermata pencaharian sebagai pedagang pasar. Bupati Bantul masih memperbolehkan masuknya ritel modern dengan format minimarket.

Secara triwulanan, DIY pada triwulan IV 2013 meningkat sebesar 0,02 persen dibandingkan dengan triwulan III 2013 dan meningkat 4,32 persen dibandingkan dengan triwulan IV 2012. Dari sisi permintaan/penggunaan, sebagian besar PDRB 2013 digunakan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dengan proporsi 52,27 persen, diikuti oleh pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi fisik sebesar 31,26 persen, dan konsumsi pemerintah 26,39 persen.

Hampir semua komponen PDRB penggunaan mengalami pertumbuhan positif selama tahun 2013 yg diikuti oleh konsumsi rumah tangga sebesar 5,82 persen. Sumber utama pertumbuhan ekonomi DIY pada tahun 2013 didorong oleh konsumsi rumah tangga dan ekspor barang dan jasa dengan andil masing-masing sebesar 2,81 persen

            Superindo sebagian besar berada di Pulau Jawa, salah satunya berada di Yogyakarta. Yogyakarta bagian selatan belum memiliki swalayan terlengkap dibandingkan dengan Yogyakarta bagian utara. Ditambah lagi kebijakan Bupati Bantul yang melarang keberadaan pasar Swalayan modern beroperasi di sekitar kabupaten Bantul. Sehingga keberadaan Swalayan PT. Lion Super Indo sangat dibutuhkan oleh masyarakat di sekitar Bantul Utara.   
Dampak dari keberadaan Swalayan Super Indo berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitar berdirinya Swalayan Super Indo, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan kesempatan kerja. Dampak dari berdirinya pasar modern memiliki dampak negatif yaitu beberapa hasil penelitian menunjukkan

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dampak didirikan pasar Modern (Super Indo) terhadap Pendapatan Asli kota Yogyakarta adalah:

Payback Period Investasi Swalayan Super Indo Jalan Parangtritis Yogyakarta




(1) Peningkatan retribusi parkir. Swalayan Super Indo menyediakan lahan parkir yang mampu menampung 70 buah mobil. (2) Peningkatan Pajak Bumi dan Bangunan. Lahan yang ditempati Swalayan Super indo sebesar 3750 m2

2.4. Pengaruh Retail Terhadap Lingkungan

Dampak terhadap lingkungan masyarakat.
Dampak didirikan pasar Modern (Super Indo) terhadap lingkungan masyarakat di sekitar lokasi adalah (1) Adanya peningkatan ekonomi masyarakat khususnya para karyawan. (2) Adanya lowongan lapangan pekerjaan baru. (3) Peningkatan gizi masyarakat melalui konsumsi buah berkualitas.

Dampak terhadap usaha kecil dan pasar tradisional.

Beberapa kebijakan Pemerintah telah dikeluarkan untuk menata pengelolaan perpasaran, baik pasar modern maupun pasar tradisional. Implementasi kebijakan ini menuntut komitmen lebih besar agar dapat dilaksanakan secara konsisten;

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa dampak keberadaan pasar modern terhadap pasar tradisional adalah dalam hal penurunan omzet penjualan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang diteliti, variabel omzet penjualan pasar tradisional menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah hadirnya pasar modern dimana omzet setelah ada pasar modern lebih rendah dibandingkan sebelum hadirnya pasar modern. Sedangkan variabel lainnya, yaitu jumlah tenaga kerja dan harga jual barang tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
NPV Investasi Pendirian Swalayan Super Indo Jalan Parangtritis Yogyakarta


Dampak utama kegiatan perusahaan tercipta dari operasi perusahaan. Pendekatan Super Indo dalam mengelola tanggung jawab sosial didasari pemikiran bahwa tanggung jawab sosial merupakan bagian dari kegiatan usaha, dan meliputi keinginan untuk selalu belajar dari tindakan kami serta pengalaman pihak lain.
Super Indo senantiasa menyempurnakan kinerja kami, melalui penerapan petunjuk pelaksanaan kegiatan usaha skala nasional dan internasional, termasuk standar Program Peringkat Kinerja Lingkungan (PROPER) dan standar operasi internasional (ISO). Kegiatan usaha Super Indo lebih dari menciptakan lapangan pekerjaan, juga mengembangkan sumber daya manusia demi kepentingan perusahaan dan masyarakat.

Dampak yang lebih luas diciptakan melalui rantai nilai, mulai dari pemasok, pelanggan, hingga konsumen. Kami memperkenalkan standar perilaku usaha bagi pemasok, yang disebut Business Partner Code, dan menerapkan “Supplier Quality Management Programme” (SQMP) untuk mendorong pemasok dalam meningkatkan kemampuan dan kinerja mereka.

Super Indo bermitra dengan berbagai jenis distributor independen untuk meningkatkan semangat kewirausahaan, menciptakan lapangan kerja, serta memberikan keuntungan bagi usaha-usaha lokal. Memenuhi Panggilan Masyarakat (Kontribusi Sukarela) Kontribusi suka rela terhadap masyarakat secara luas, yang dilakukan melalui kemitraan dengan LSM, badan pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat, terlihat seperti “puncak gunung es” yang merupakan dampak yang lebih besar dari kegiatan perusahaan yang sesungguhnya. Kontribusi tersebut mencakup program-program berkesinambungan, yang dilaksanakan secara profesional di bawah Yayasan Lion Super Indo Peduli.

Super Indo mendorong para karyawan untuk ikut berbagi hati, pikiran dan pengalaman melalui kegiatan bakti sosial sukarela bagi yang membutuhkan, seperti yatim piatu, anak jalanan, penduduk (miskin) pedesaan, pengungsi dan lainnya.

Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Super_Indo
www.smeru.or.id/report/research/supermarket/supermarket_ind.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar