Rabu, 01 April 2015

Hukum Perikatan




I.                   Pengertian
Perikatan adalah hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi, begitu juga sebaliknya. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Dalam bahasa Belanda perikatan disebut verbintenissenrecht. Namu, terdapat perbedaan pendapat dari beberapa ahli hukum dalam memberikan istilah hukum perikatan, yaitu sebagai berikut:
1.      Wirjono Prodjodikoro
Dalam bukunya Asas-Asas Hukum Perjanjian, (bahasa Belanda: het verbintenissenrecht) jadi, verbintenissenrecht oleh Wirjono diterjemahkan menjadi hukum perjanjian bukan hukum perikatan.
2.      Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
3.      Subekti
Perikatan adalah suatu hubungan antara dua pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
II.                Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP terdapat tiga sumber yaitu:
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata: “Perikatan yang lahir dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Perikatan terjadi karena undang-undang semata yaitu yang ada dalam Pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam Pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan.
Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).
III.             Asas- Asas Hukum Perikatan
Asas-asas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni:
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, asas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KHU Perdata.

IV.             Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Apabila seseorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan “wanprestasi” yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
            Para debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan inkar janji (wanprestasi).
            Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasibisa berupa empat kategori, yakni:
Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya,
Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat,
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
            Akibat dari debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni:
Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi).
Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian.
Peralihan Risiko.

V.                Hapusnya Perikatan
Hapusnya perikatan menurut Pasal 1381:
1.      Pembayaran.
2.      Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.      Pembaharuan utang.
4.      Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.      Percampuran utang.
6.      Pembebasan utang.
7.      Musnahnya barang yang terutang.
8.      Kebatalan atau pembatalan.
9.      Berlakunya suatu syarat batal.
10.  Lewatnya waktu.

Sumber:

  • Diktat Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis, Neltje F.Katuuk Gunadarma Jakarta  1994
  • Hukum Dalam Ekonomi Edisi Revisi, Elsi Kartika Sari, S.H., Grasindo, Jakarta, 2005
  • Hukum Bisnis : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Zaeni Asyhadie, S.H., Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005