Minggu, 27 April 2014

Bisnis Retail yang Sangat Signifikan Terhadap Perkembangan Konsumen



Bisnis Retail yang Sangat Signifikan Terhadap Perkembangan Konsumen



Disusun Oleh

Nama              : Annisa Hidayati Amal
Kelas               : 1EB18
NPM                : 21213136









UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN S1 – AKUNTANSI
2014
 

Daftar Isi
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………..1
Pendahuluan
1.1.            Latar Belakang…………………………………………………………………..2
1.2.            Tujuan…………………………………………………………………………….4
1.3.            Rumusan Masalah………………………………………………………………4
Pembahasan
            2.1. Perkembangan Industri Ritel Terkini……………………………………………..5
2.2. Perilaku Konsumen Secara Umum Terhadap Bisnis Retail……………………...5
2.3. Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Konsumen…………………………………….5
2.4. Perkembangan Pasar (Toko) Modern dan Tradisional…………………………...6
2.5. Faktor-Faktor Nilai Konsumen…………………………………………………..6
2.6. Strategi Pemasaran Ritel terhadap Kepuasan dan Loyalitas Konsumen………...7
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..12


Bab 1. Pendahuluan
1.1.            Latar Belakang
Pesatnya perkembangan persaingan bisnis mengakibatkan peritel menyadari upaya untuk mempertahankan pelanggan tidak hanya cukup dengan menawarkanproduk dengan kualitas yang lebih baik, harga yang kompetitif , menciptakan rasa puasdan memberikan pelayanan yang lebih bagi konsumen. Distro Hube merupakan salahsatu distro yang berbentuk ritel modern di Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bauran pemasaran ritel terhadap kepuasan konsumen dan orientasiberbelanja pada Distro Hube Denpasar. Dengan menggunakan metode purposivesampling sehingga diperoleh sebanyak 120 responden. Teknik analisa data yangdigunakan adalah teknik analisa jalur. Hasil penelitian yang diperoleh melalui pengaruhlangsung bauran pemasaran ritel berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasankonsumen pada Distro Hube Denpasar, bauran pemasaran ritel berpengaruh positif dansignifikan terhadap orientasi berbelanja pada Distro Hube Denpasar, dan bauranpemasaran ritel berpengaruh positif dan signifikan terhadap orientasi berbelanja melaluivariabel kepuasan pada Distro Hube Denpasar

Levy and Weitz (2007:168) menyatakan kepentingan dari berbelanja utilitarianyang berasal dari keyakinan konsumen merupakan tujuan tertentu di dalam berbelanjayang akan terpuaskan ketika mereka menemukan produk yang mereka cari. Sebaliknya,kepentingan berbelanja hedonik mencerminkan nilai emosional dan kejiwaan daripembelian. Nilai hedonik tersebut berasal dari kesenangan, kegembiraan, dankenikmatan dari pengalaman berbelanja, rasa tertarik, rasa nyaman, rasa marah, rasatakut dan adanya rangsangan membeli.Tjiptono (2006:24), mendefinsikan kepuasan atau ketidakpuasan konsumenadalah respon konsumen terhadap evolusi ketidaksesuaian (discinfirmation) yangdirasakan antara harapan sebelumnya dan kinerja actual produk yang dirasakan. Bahwaada persaingan yang semakin ketat ini, semakin banyak produsen yang terlibat dalampemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga hal ini menyebabkan setiap badan usaha harus menempatkan orientasi pada kepuasan konsumen sebagai tujuanutama.


Layanan ritel merupakan salah satu pembentuk kepuasan pelanggan, di mana peningkatan kinerja layanan ritel dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas layanan pada aspek fisik, reliabilitas, interaksi personal, pemecahan masalah, dan kebijakan perusahaan (retail). Kinerja layanan ritel yang sesuai dengan harapan pelanggan menyebabkan ritel tersebut akan memiliki keunggulan bersaing di mata konsumen tidak hanya terhadap kepuasan tetapi juga berdampak pada loyalitas pelanggan (Lu dan Seock, 2008).

Lingkungan dalam toko memiliki peran yang sangat penting untuk menarik konsumen. Lingkungan toko dengan fasilitas fisiknya beserta dengan suasana dalam toko, penetapan harga, promosi dan produk yang ditawarkan suatu toko memberikan stimuli-stimuli yang diterima oleh konsumen tersebut sehingga menimbulkan persepsi terhadap keseluruhan toko tersebut yang disebut dengan citra toko (Bloomer, 2002). Dengan berbekal citra toko yang positif, penyebaran informasi dari mulut ke mulut dapat menyebabkan orang yang mendapat informasi tersebut akan tertarik dan dengan segera mengunjungi toko tersebut. Semakin baik citra toko di mata konsumen maka semakin besar pula impulsive buying yang dilakukan oleh konsumen dan begitu juga sebaliknya (Bloemer dan Ruyter 2008). Hal ini juga diperkuat oleh penelitian lainnya yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara citra toko, kepuasan dan loyalitas
pelanggan (Bloomer, 2002).
Pertumbuhan swalayan di Payakumbuh telah meningkatkan persaingan di antara perusahaan perusahaan ritel tersebut. Namun, dalam persaingannya yang ketat tidak semua swalayan mampu bertahan dan berkembang. Dua di antaranya telah di tutup yaitu Atlantis Swalayan dan Aprilia Swalayan. Sehingga swalayan yang masih berdiri sampai sekarang ini adalah Mega Prima Swalayan, Ramayana, Swalayan, dan Niagara Swalayan.
Untuk dapat bertahan dan berkembang, sebuah perusahaan perlu memahami perilaku konsumen agar mampu menimbulkan pembelian ulang konsumen sehingga pada akhirnya dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Berman dan Evans (2007: 16) menyatakan “konsumen yang tidak puas dengan pengalaman berbelanja di suatu perusahaan ritel, cenderung untuk tidak melakukan pembelian ulang di perusahaan tersebut”.Untuk itu, perusahaan perlu melakukan berbagai strategi agar dapat memberikan kepuasan pada konsumen dan mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian ulang pada perusahaan tersebut.
Berdasarkan pra survey yang dilakukan terhadap 35 orang konsumen swalayan di kota Payakumbuh. Maka diketahui, dari 35 orang konsumen yang berbelanja di Mega Prima Swalayan, 74% berbelanja di Mega Prima Swalayan kurang dari 4 (< 4) kali, dan hanya 26% yang berbelanja lebih dari 3 (≥4) kali. Sementara itu hanya 49 % yang berbelanja pada Ramayana swalayan kurang dari 4 (< 4) kali, dan 51 % yang berbelanja lebih dari 3 (≥4) kali. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsumen Mega Prima juga melakukan pembelian di Swalayan lain. Kemudian, tingkat pembelian ulang konsumen di Mega Prima tergolong rendah di bandingkan dengan pembelian ulang yang dilakukan konsumen pada Ramayana Swalayan (pesaing). Hal ini menyebabkan berkurangnya pembeli pada Mega Prima Swalayan, dan kemudian juga mengakibatkan kurangnya jumlah penjualan Mega Prima Swalayan.
Untuk menarik dan mempertahankan pelanggan agar tetap melakukan pembelanjaan. Perusahaan ritel terus berusaha untuk menemukan strategi yang baru. Menurut Levy&Weitz (2009:21), elemen dalam strategi ritel terdiri atas merchandise assortment, pricing, location, communication mix, store design and display, dan customer service.

1.2. Tujuan
Dalam makalah ini penulis ingin mengetahui perkembangan industri ritel terkini perilaku konsumen secara umum terhadap bisnis retail, pengaruh bisnis retail terhadap konsumen, perkembangan pasar (toko) modern dan tradisional, faktor-faktor nilai konsumen, strategi pemasaran ritel terhadap kepuasan dan loyalitas konsumen

1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalah penelitian ini adalah perkembangan industri ritel terkini perilaku konsumen secara umum terhadap bisnis retail, pengaruh bisnis retail terhadap konsumen, perkembangan pasar (toko) modern dan tradisional, faktor-faktor nilai konsumen, strategi pemasaran ritel terhadap kepuasan dan loyalitas konsumen.

Bab 2. Pembahasan

2.1. Perkembangan Industri Ritel Terkini
Krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 tidak secara signifikan mempengaruhi performa bisnis ritel di Indonesia. Bahkan secara berkesinambungan industri ritel tumbuh cukup pesat dengan angka omzet yang tumbuh sebesar 21,1% pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp94,5 triliun. Bahkan sampai dengan bulan April 2009, total omzet industri ritel modern Indonesia telah mencapai Rp31,98 triliun, meningkat sebesar 7,4% dari tahun sebelumnya pada periode yang sama. Salah satu contoh perkembangan industri ritel yang semakin pesat ini diperlihatkan secara nyata oleh Carrefour yang telah memiliki 88 gerai (termasuk Carrefour Express) sampai dengan akhir tahun 2009.

2.2. Perilaku Konsumen Secara Umum Terhadap Bisnis Retail
Saat ini persepsi masyarakat terhadap belanja telah mengalami perubahan. Sebelumnya peran berbelanja dilihat dari sudut pandang fungsionalitasnya. Namun saat ini belanja telah memberikan peran emosional. Berbelanja telah dianggap sebagai salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh fungsi rekreasi. Saat ini, format toko ritel yang ada telah menuju ke arah apa yang diinginkan oleh konsumen sehingga konsumen merupakan titik sentral dari kebijakan yang akan diambil oleh pelaku usaha ritel. Di sisi lain, menurut riset dari AC Nielsen, 93% konsumen Indonesia menganggap bahwa berbelanja merupakan salah satu bentuk rekreasi.

Perkembangan yang terjadi saat ini menunjukkan semakin kaburnya format ritel. Sebagai contoh, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) telah memiliki convenience store di dalamnya. Supermarket/Hipermarket telah memiliki berbagai format ritel di dalamnya. Tidak hanya personal care, supermarket dan hipermarket telah menjadi pasar bagi fashion dan alat-alat rumah tangga. Bahkan saat ini telah ada supermarket yang menjual mobil di dalamnya4. Hal ini merupakan upaya pelaku usaha ritel untuk menjadikan toko ritel miliknya sebagai wahana one stop shopping di mata konsumen, sehingga semakin beragam variasi segmen konsumen yang akan datang ke toko untuk berbelanja.

Konsumen merupakan titik sentral yang dijadikan barometer oleh pelaku usaha ritel. Konsumenlah yang mempengaruhi evoluasi format ritel. Saat ini konsumen telah semakin terfragmentasi. Untuk itu industri ritel dituntut dapat membuat gerai multiformat untuk menangkap seluruh peluang pasar.

2.3. Pengaruh Bisnis Retail Terhadap Konsumen
Responden penelitian dengan proporsi terbesar berdasarkan umur adalah umur 26-35 tahun yaitu 34%. Proporsi terendah adalahkonsumen umur 46-55 tahun yaitu 14%. Responden penelitian terbanyak adalah wanita dengan proporsi 74% atau sebanyak 74 orang dan sisanya adalah laki-laki. Mayoritas konsumen Mega Prima Swalayan berdomisili di Payakumbuh Barat dengan proporsi 40% atau 40 orang. Berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa proporsi terbesar pada penelitian ini adalah pegawai negeri dengan proporsi 31%. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa proporsi pengelompokan responden berdasarkan pengeluaran kebutuhan rumah tangga per bulan mayoritas memiliki pengeluaran per bulan Rp 250.000-Rp 500.000 yaitu sebanyak 26 orang, dan yang memiliki pengeluaran > Rp 1.500.000 perbulan adalah sebanyak 22 orang.
Penilaian responden terhadap variable persediaan barang adalah baik, terbukti dengan tingkat capaian responden sebesar 75,84%. Artinya, Mega Prima Swalayan Payakumbuh selalu menyediakan produk yang banyak, bervariasi, lengkap, berkualitas dan selalu tersedia saat konsumen membutuhkannya. Sementara itu, penilaian responden terhadap harga juga baik, dibuktikan dengan variable tingkat capaian responden sebesar 76,27%. Artinya Mega Prima Swalayan menyediakan harga barang dagangan yang lebih rendah dari swalayan lain, harga barang yang dijual sesuai dengan kualitas, dan daya beli konsumen. Kemudian untuk variabel lokasi, konsumen menilai Mega prima Swalayan mudah dijangkau dengan kendaraan umum, memiliki fasilitas parkir yang luas dan aman, serta dekat dengan kediaman konsumen, dibuktikan dengan tingkat capaian responden adalah 74,84%. Konsumen juga menilai diskon dan poin belanja yang ditawarkan Mega Prima Swalayan menarik bagi konsumen, dengan tingkat capaian responden sebesar74,7%. Selanjutnya, penilaian konsumen terhadap variabel desain dan tampilan toko adalah baik, dengan tingkat capaian responden sebesar 75,64%. Artinya, Mega Prima Swalayan memiliki pencahayaan yang terang, temperature udara yang sejuk, penataan ruangan yang menarik dan teratur, ruangan yang bersih dan nyaman, sirkulasi dalam toko yang lancar, penataan barang yang rapi dan mudah ditemukan, serta aroma dalam toko yang menarik. Dan yang terkahir, penelitian menunjukkan pada variabel keputusan pembelian ulang tingkat capaian responden adalah baik, terlihat dari tingkat capaian responden sebesar 76,5 %, artinya tingkat pembelian ulang konsumen pada Mega Prima Swalayan tergolong tinggi.

2.4. Perkembangan Pasar (Toko) Modern dan Tradisional
Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern telah memberikan definisi mengenai pasar tradisional dan pasar modern. Definisi tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang disebutkan mengenai perbedaan definisi dari pasar tradisional dan modern. Pada pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa definisi pasar tradisional adalah sebagai berikut :
“ Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.”
Sedangkan pada pasal 1 angka 5 disebutkan bahwa toko modern :
“ Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan.”
Dari definisi tersebut ada dua hal yang dapat digarisbawahi. Pertama, di pasar tradisional terdapat mekanisme tawar menawar. Artinya harga yang ditampilkan mungkin berbeda dari harga yang disepakati oleh pembeli dengan penjual. Mekanisme ini tidak terdapat pada toko modern. Pada took modern harga bersifat given dan konsumen tidak dapat menawar. Kedua, di pasar modern terdapat sistem pelayanan mandiri dimana konsumen memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk berinteraksi langsung dengan produk yang dijual, berbeda dengan pasar tradisional yang diletakkan di dalam etalase sehingga konsumen tidak memiliki keleluasaan penuh. Berikut definisi yang disarikan oleh Pandin (2009) dalam papernya5.
Tabel 4.2.
Definisi Berbagai Format Ritel Modern
 

2.6. Strategi Pemasaran Ritel terhadap Kepuasan dan Loyalitas Konsumen




Strategi pemasaran ritel adalah pemasaran yang mengacu kepada variabel, dimana pedagang eceran dapat mengkombinasikan menjadi jalan alternatif sebagai suatu strategi pemasaran untuk dapat menarik konsumen. Variabel tersebut umumnya meliputi faktor seperti : variasi barang dagangan dan jasa yang ditawarkan, harga, iklan, promosi, dan tata ruang, desain store, lokasi store dan merchanding (Retail marketing management, 2003). Untuk menjaga kelangsungan hidup serta kemajuan dan keunggulan dalam bisnis eceran yang semakin kompetitif, maka pengelola bisnis tersebut harus berupaya menerapkan strategi berupa program bauran penjualan eceran yang diharapkan memunculkan minat konsumen.
Komponen produk, harga, tempat, dan promosi atau lebih dikenal dengan 4P (product, price, place, and promotion) dengan menitikberatkan perhatian yang berbeda-beda pada keempat variabel tersebut karena tergantung kepada sipembuat keputusan pemasarannya untuk menyesuaikan  dengan lingkungan yang cenderung berubah-ubah yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan mencapai tujuan perusahaan, dimana konsep tersebut berlaku bagi bisnis eceran dengan penekanan pda faktor yang berlainan (McCarthy, 1993)
Prinsip dasar pada ritel modern yang terdiri dari 4 P:
a.       Product (Produk)
Produk menurut Kotler and Armstrong (2001) adalah segala sesuatu yang ditawarkan kepasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikomsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Menurut Porter (1996), keunggulan suatu produk agar dapat diterima dan bertahan dipasar ditentukan oleh ciri khas atau keunikan produk tersebut dibandingkan dengan produk yang lain yang ada dipasar (Porter, 1996).
b.      Price (Harga)
Strategi dalam penetapan harga bisa dilakukan dengan beberapa cara, misalnya : Harga bundling, harga predatory, harga berbasis kompetisi, harga cost plus, harga berorientasi pasar, harga premium, harga psikologis, harga dinamis (Kotler and Armstrong, 2010). Ada tiga pihak yang menjadi dasar pertimbangan dalam penetapan harga oleh sebuah perusahaan ritel yaitu konsumen, dirinya sendiri, dan pesaing.
Menurut Ma’ruf (2005)   , impementasi strategi harga antara lain :
·         Penetapan harga secara tetap untuk periode waktu tertentu dan harga yang ditetapkan secara variatif sesuai fluktuasi tingkat permintaan konsumen.
·         Penetapan harga ganjil, seperti Rp. 99.000, Rp. 199.000, Rp. 749.000
·         Leader pricing, penetapan harga dimana profit marginnya lebih rendah daripada tingkat yang biasa diraih bertujuan untuk menarik konsumen yang lebih banyak.
·         Penetapan harga paket, yaitu harga yang didiskon untuk penjualan lebih dari satu unit per itemnya. Harga bertingkat, ini diberlakukan untuk produk yang mempunyai banyak model dan harga yang beragam.
c.        Promotion (Promosi)
Menurut Philip Kotler (1997, p.153) proses keputusan pembelian dipengaruhi oleh rangsangan pemasaran dan rangsangan lain. Bauran promosi yang meliputi periklanan (advertising), penjualan pribadi (personal selling), hubungan masyarakat (public relation) dan publisitas(publicity), promosi penjualan (sales promotion), dan pemasaran langsung (direct marketing) adalah bagian dari rangsangan pemasaran yang merupakan variabel yang dapat dikontrol oleh perusahaan.
Menurut Schoell (1993, p.424), Tujuan promosi adalah memperoleh perhatian, mendidik, mengingatkan, dan meyakinkan.
d.      Place (Lokasi)
Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan barang dan jasa siap digunakan atau dikomsumsi (Kotler, 2002). Menurut  Losch, Lokasi penjualan sangat berpengaruh lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin malas membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada dipasar atau dekat dengan pasar.
Lokasi adalah faktor terpenting dalam pemasaran ritel. Pada lokasi yang tepat, sebuah gerai akan lebih sukses dibandingkan       gerai lainnya yang berlokasi kurang strategis, meskipun keduanya menjual produk yang sama dengan pramuniaga yang sama terampilnya dan mempunyai citra toko yang bagus.
Startegi pemasaran yang baik juga harus didukung dengan kualitas pelayan yang baik. Menurut Christopher H. Lovelock et.al (1996) menyatakan bahwa kualitas pelayanan merupakan bentuk pelayanan yang harus disesuaikan dengan harapan dan kepuasan konsumen didalam memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Salah satu cara perusahaan untuk tetap dapat unggul bersaing dengan memberikan pelayanan dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaingnya secara konsisten. Harapan konsumen dibentuk oleh pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari mulut kemulut serta promosi yang dilakukan kemudian dibandingkannya. Menurut Payne (2000) membentuk model kualitas pelayanan yang menyoroti syarat-syarat utama memberikan kuliatas pelayanan diantaranya adalah :
  Kesenjangan antara harapan konsumen dengan persepsi management
  Kesenjangan antara persepsi management terhadap harapan konsumen dengan spesifikasi terhadap kualitas pelayanan.
  Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dan penyampaian pelayanan.
  Kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dan pelayanan yang diharapkan.
Menurut Zeithaml and Bitner (2003), kualitas pelayanan mencerminkan evaluasi persepsi konsumen tentang elemen-elemen jasa (kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik, dan kualitas hasil), kemudian elemen-elemen jasa akan dievaluasi berdasarkan dimensi kualitas pelayanan yang spesifik, antara lain : kehandalan, daya tangkap, jaminan, kemudahan dalam melakukan hubungan, dan bukti langsung.

Daftar Pustaka
·         Laporan Penelitian, SMERU, Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia
·         Makalah Universitas Sumatra Utara, Capter I.pdf